Wednesday, September 30, 2015

THE POWER OF ‘MALE GAZE’


        
THE POWER OF ‘MALE GAZE’
(Kuatnya ‘Male Gaze’ dalam Tayangan Televisi di Indonesia,
Mister Tukul Jalan-jalan Trans7)





Eksistensi Tayangan Mistis di Indonesia
Di tengah tayangan-tayangan  komedi dan hiburan yang kian menjamur dan mewabah di Indonesia, tayangan bertemakan mistis yang berbau hal mistis ternyata masih mempunyai tempat tersendiri di hati pemirsanya. Bahkan setelah gempuran drama-drama yang dari negara luar seperti India dan Turki yang kehadirannya sempat membius perhatian masyarakat Indonesia pun, tayangan mistis masih saja mampu bertahan hingga kini. Tayangan-tayangan mistis seperti mampu membuat pemirsanya selalu penasaran dan menunggu-nunggu setiap ‘cerita’ dalam setiap episode yang disajikan.
Sebut saja beberapa tayangan mistis seperti Jejak Paranormal yang ditayangkan oleh stasiun televisi ANTV dan Mister Tukul Jalan-Jalan yang ditayangkan oleh Trans7. Kedua tayangan tersebut merupakan dua contoh tayangan mistis yang masih eksis dan populer di kancah pertelevisian Indonesia.
Daya tarik yang ditawarkan oleh tayangan-tayangan mistis di Indonesia adalah terjadinya berbagai fenomena mistis yang menarik perhatian dan rasa penasaran pemirsanya. Misalnya, terjadinya fenomena kesurupan, bahkan penampakan makhluk astral yang merupakan daya tarik utama tayangan mistis. Penampakan makhluk astral yang terekam kamera, seperti menjadi tolak ukur tersendiri bagi keberhasilan dan kesuksesan suatu tayangan mistis. Semakin banyakan penampakan yang ditayangkan, semakin tinggi pula antusiasme dan daya tarik yang dimiliki oleh tayangan tersebut. Sebut saja tayangan “Dunia Lain” dan “Masih Dunia Lain” di Trans7, yang sempat melejit beberapa waktu yang lalu. Dalam setiap episodenya, tayangan ini hampir selalu menampilkan berbagai penampakan makhluk astral yang terkadang terlihat jelas di kamera.
Tayangan-tayangan mistis selalu berpindah set dan cerita, dalam artian hampir dalam setiap episodenya tayangan ini selalu mengambil lokasi dan mengusung cerita mistis yang berbeda dari masing-masing lokasi dan daerah yang dikunjungi. Tayangan mistis mengangkat berbagai cerita ‘urban legend’ untuk disuguhkan kepada pemirsanya. Hal ini lah yang menjadi salah satu daya tarik tayangan mistis di Indonesia.
Kehadiran para praktisi supranatural atau paranormal agaknya juga menjadi daya tarik tambahan bagi suatu tayangan bertema mistis. Para ‘orang pintar’ tersebut seolah dapat membuat pemirsanya ikut manggut-manggut mendengar penjelasannya akan berbagai makhluk yang ‘hadir’ disekitar mereka, serta aksi dan jurus mereka dalam menaklukkan berbagai makhluk tak kasat mata.
Seiring dengan semakin berjalannya waktu, kepopuleran tayangan mistis di Indonesia, kini tidak hanya bergantung dari fenomena-fenomena dan lokasi angker dan mistis yang ditawarkan pada pemirsa. Namun, dewasa ini pemirsa tayangan mistis juga disuguhi hadirnya berbagai faktor menarik lain dalam tayangan mistis masa kini. Sebut saja kehadiran para artis yang menjadi pembawa acara dan host yang memandu tayangan tersebut, sehingga menjadi daya tarik lain bagi pemirsanya.

‘Male Gaze’ dalam Tayangan Mistis Indonesia
Ada hal lain yang tidak dapat dilepaskan dan bisa dibilang identik dengan tayangan mistis masa kini, yaitu kehadiran ‘artis-artis wanita’ yang menjadi pendamping pembawa acara dalam tayangan mistis tersebut.
Dalam sebuah literatur tentang gender dan media menyingkapkan ketidaksetaraan yang mendasar dalam frekuensi pemuatan perempuan dan laki-laki di media. Sementara kendali atas kreasi dan produksi citra media juga berada dalam genggaman laki-laki, Croteau dan Hoynes (Ibrahim, 2007:4). Dalam tayangan televisi wanita digunakan sebagai daya tarik dalam sebuah tayangan oleh produsen media. Perempuan dijadikan sebagai sebuah objek yang menarik untuk dimasukkan keterlibatannya dalam semua jenis acara. Kehadiran para artis wanita dalam suatu tayangan seperti menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Dalam male gaze, wanita dianggap sebagai sebuah objek yang menjadi daya tarik tersendiri bagi suatu tayangan televisi.
Salah satu tayangan mistis yang memanfaatkan male gaze dalam setiap episodenya adalah tayangan “Mister Tukul Jalan-jalan” Trans7. Program yang menggandeng Tukul Arwana, satu pembawa acara terkenal di Indonesia ini mengusung tema dan bintang tamu ‘wanita’ yang berbeda pula di setiap episodenya. Hal ini tentu saja menghadirkan warna tersendiri bagi para pemirsanya khususnya laki-laki, karena tak jarang para bintang tamu yang dihadirkan terkesan ‘sengaja’ berpakaian mencolok dan seksi untuk mengundang perhatian.
Kehadiran para wanita dalam tayangan “Mister Tukul Jalan-jalan”, seperti memberikan daya tarik ganda bagi pemirsa dan penggemar tayangan dengan genre ini. karena selain disuguhi dengan fenomena-fenomena mistis seperti tayangan mistis pada umumnya, pemirsa khususnya kaum laki-laki juga disuguhi dengan kehadiran bintang tamu artis wanita yang ikut hadir dalam tayangan tersebut.
Para artis wanita yang terlibat dalam tayangan ini, biasanya akan ikut dalam sebuah investigasi yang dilakukan Tukul dan kawan-kawannya di sebuah lokasi yang terkenal angker. Para wanita tersebut biasanya akan selalu berdiri disamping si pembawa acara untuk di ‘perlihatkan’ kehadiran dan sosoknya pada pemirsa.

Conclusion: Pentingkah Kehadiran Wanita dalam Tyangan Mistis?
Ada kesenjangan yang dipersepsikan antara “bagaimana perempuan itu sebenarnya dan bagaimana citra media tentang perempuan”( Mulyana & Solatun, 2007: 318-319). Dibalik representasi perempuan di televisi yang cenderung kurang pas dan selalu menjadi objek, perempuan dalam konstruksi lain (feminis) direpresentasikan sebagai makhluk anggun dan santun. Namun kenyataan yang terjadi dalam realitas sehari-hari berkata lain.
Dalam tayangan televisi Indonesia, khususnya dalam tayangan Mister Tukul Jalan-jalan, wanita direpresentasikan sebagai suatu pelengkap yang menarik dan penghias malam (karena acara tersebut ditayangkan di malam hari). Wanita digunakan untuk menarik perhatian dan sebagai pemuas mata laki-laki. Maka tak heran bahwa pada penampilannya di layar kaca, wanita cenderung megenakan pakaian yang dianggap seksi, menarik dan eye-catching untuk menarik mata pemirsanya.
Meskipun kontribusinya dalam tayangan ini secara praktek tidak begitu kentara, namun kehadiran mereka seperti memberikan kesan tersendiri dalam acara tersebut. Mereka terkesan hanya sebagai pemanis dan hiasan yang dipajang selama berlangsungnya acara tersebut, karena mereka akan selalu ikut kemanapun si pembawa acara pergi.
Dalam tayangan mistis seperti “Mister Tukul Jalan-jalan”, kehadiran para wanita tersebut seperti dipaksakan. Karena sebenarnya, tidak ada korelasi yang jelas antara kehadiran mereka dengan konsep acara tersebut. Wanita hanya menjadi objek dari male gaze saja. Karena sebenarnya kehadiran wanita seksi dalam acara ini pun bisa dibilang nyeleneh (aneh).
Kehadiran wanita-wanita dalam suatu tayangan televisi memang sudah terbukti ampuh menjadi daya tarik tersendiri. Namun, kehadiran wanita seharusnya diimbangi dengan kontribusinya bagi sebuah acara, agar wanita tidak terkesan hanya sebagai objek pemanis dan penarik perhatian saja.
Kehadiran wanita juga harus menyesuaikan tema dan konsep dari acara yang ditayangkan. Akan terkesan aneh bila sebuah tayangan mistis tiba-tiba menyelipkan visualisasi wanita berpakaian minim didalamnya. Sehingga konsep awal dari acara tersebut akan pudar dan tertutup dengan dominannya kehadiran si wanita didalamnya.



Daftar Pustaka :

Ibrahim, Idi Subandy (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

 Mulyana, Deddy & Solatun (2007). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.








Sunday, September 20, 2015

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: ANALISIS KONFLIK PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (RI) DAN GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM)




·                Pihak yang Berkonflik
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bentukan Tengku Hasan M.di Tiro.

·                Pemicu Konflik RI dan GAM
Berakhirnya Orde Lama, membawa harapan besar bagi tokoh-tokoh Aceh tentang perkembangan dan kemajuan pada bidang ekonomi, sosial dan politik  yang akan terjadi di wilayah mereka. Namun, kenyataan yang terjadi justru tidak sesuai dengan ekspektasi.  Di Orde Baru sekalipun, masyarakat Aceh masih saja miskin. Kekayaan alam Aceh di ambil oleh pemerintah pusat dan dikembalikan dalam bentuk yang tidak sebanding dengan kontribusinya bagi negara.
Pada 1970, pemerintahan Orde Baru pun makin agresif terhadap ulama-ulama dan lembaga keagamaan di Aceh. Hal ini ditandai dengan dibatalkannya Perda No. 6 Tahun 1968 tentang ketentuan Pokok Pelaksanaan Unsur-Unsur Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh karena munculnya asas tunggal Pancasila.
Dari segi ekonomi, berdirinya industri-industri di Aceh Utara seperti pabrik LNG, Mobil Oil, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Aceh Asean Fertilizer, PT. Kraft Aceh, serta sejumlah industri hilir yang berorientasi ekspor, tidak diimbangi dengan perubahan yang signifikan bagi keadaan ekonomi Aceh. Sebagian besar hasil dari Industri tersebut masuk ke pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil yang masuk ke pundi ekonomi Aceh.
Selain pembagian hasil yang tidak seimbang, pendirian industri-industri tersebut juga berdampak pada terpinggirnya tenaga kerja lokal, karena industri tersebut lebih memilih untuk mendatangkan tenaga ahli dari luar Aceh. Hal ini tentu saja selain menimbulkan gap ekonomi yang makin besar, juga menimbulkan kecemburuan social di tengah masyarakat.
Ketidakpuasan akan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di Aceh tersebut lah yang menjadi acuan bagi Tengku Hasan M.di Tiro (disingkat Hasan Tiro) bersama beberapa tokoh lain, untuk memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Hasan Tiro menganggap, ada dua hal utama yang menjadi alasannya untuk mewujudkan berdirinya negara Aceh merdeka, yakni legitimasi atau keabsahan sejarah kerajaan Aceh, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang sangat timpang dan memilukan dari masyarakat Aceh. Ia menganggap, dengan potensi kekayaan gas alamnya, Aceh bisa setara dengan negara-negara maju seperti Singapura dan Brunei Darussalam, bila memisahka diri dengan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto, sama sekali tidak mau mengakui eksistensi dari Gerakan Aceh Merdeka, dan menyebutnya sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), GPL (Gerakan Pengacau Liar), GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan), GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro). Bahkan gerakan melepas diri dari NKRI ini mendapat respon tegas dari rezim Soeharto, dengan menumpas gerakan inimelalui operasi militer yang akhirnya menjadi kasus pelanggaran HAM berat.

·                Kronologis Konflik RI dan GAM
Sejak 1977, penumpasan GAM genjar dilakukan, puluhan anggota pimpinan wilayah Gerakan Aceh Merdeka tertangkap, bahkan terbunuh. Karena adanya operasi penumpasan ini, pimpinan GAM, Hasan Tiro, melarikan diri ke luar negeri pada 1983. Oleh karena itu GAM sempat tidak aktif selama beberapa tahun.
Pada 1989, GAM muncul kembali dengan pola perjuangan gerilyanya. Pola ini pun terbagi menjadi dua, yakni gerilya desa dan gerilya kota. Gerilya desa untuk mempersuasi masyarakat desa, sedagkan gerilya kota membangun opini yang bernada provokatif dan agitatif di luar dan di dalam negeri untuk menjelaskan bahwa perjuangan yang mereka cita-citakan adalah sah dimata hukum.
Dalam perjuangan gerilyanya tersebut, GAM melakukan berbagai tindakan pembentukan opini, agar warga bersedia ikut bergabung dan berjuang bersama mereka. Namun disisi lain, mereka tidak segan melakukan teror bahkan penindasan dan pembunuhan pada warga lokal, untuk mengancam dan mengintimidasi pemerintah. Tingginya tingkat perlawanan yang diberikan, menyebabkan diberlakukannya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Menurut catatan dokumentasi, semasa berlakunya DOM di Aceh selama 10 tahun (1989-1998), Amnesty Inernational memperkirakan 2.000 orang tewas hanya dalam waktu 3 tahun (1989-1992).
Seiring dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, untuk mendinginkan gejolak di Aceh pada Jumat, 7 Agustus 1998 Menhankam/ Panglima TNI Jenderal Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh.

·                Solusi Konflik RI dan GAM
Proses dialog antara Pemerintah Indonesia dan GAM baru terlaksana pada saat Presiden Abdurrahman Wahid membuka peluang tersebut dengan melibatkan Henry Dunant Centre (HDC) yang merupakan organisasi international non-government (NGO) sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Aceh.keterlibatan HDC ini tentu saja telah disepakati oleh kedua belah pihak. HDC menawarkan jasa kepada pihak yang berkonflik untuk menerima keterlibatannya dalam menyelesaikan konflik. Baik pemerintah Indonesia atau GAM sama-sama menyadari bahwa konflik Aceh memerlukan peran pihak ketiga untuk dapat membawa kedua belah pihak ke meja perundingan. Perundingan-perundingan yang telah di fasilitasi oleh HDC antara lain :
1.    12 Mei 2000, di Jenewa, Swiss, menghasilkan Nota Kesepahaman untuk Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh).
2.    6-9 Januari 2001, menghasilkan Kesepahaman Sementara (Provisional Understanding). Namun setelah itu, kekerasan masih saja terjadi.
3.    9-10 Mei 2002 di Swiss, menghasilkan Pernyataan Bersama (Joint Statement) dimana GAM bersedia menerima UU NAD sebagai langkah awal dalam penyelesaian konflik.
4.    9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss, menindak lanjuti Pernyataan Bersama tersebut, Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement-COHA) berhasil ditandatangani.
Namun setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian tersebut, masih saja terjadi kekerasan antara kedua pihak yang bersengketa. Pemerintah RI dan GAM sama-sama masih saling memegang pendiriannya masing-masing.
Karena semua perundingan yang difasilitasi oleh HDC gagal,  maka proses perundingan yang berikutnya difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional, yang bergerak dalam bidang resolusi konflik. Proses mediasi yang dilanjutkan oleh CMI ini dimulai dengan mengadakan lima tahap perundingan informal diantara Pemerintah Indonesia dan GAM, sehingga pada perundingan formal dapat dicapai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Ada tiga poin utama dari MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari’at Islam dan Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alamsebesar 70%. Sementara pihak GAM sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan merdeka, dan bersedia membangun Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sumber           :












RANGKUMAN TEORI EKONOMI POLITIK MEDIA VINCENT MOSCO



RANGKUMAN TEORI EKONOMI POLITIK MEDIA  VINCENT MOSCO
(KOMODIFIKASI, SPASIALISASI, STRUKTURASI)




            Secara umum, Vincent Mosco (1996) mendeskripsikan bahwa teori ekonomi politik adalah sebuah studi yang mengkaji tentang hubungan sosial, terutama kekuatan dari hubungan tersebut yang secara timbal balik meliputi proses produksi, distribusi dan konsumsi produksi yang telah dihasilkan. Awal kemunculan teori ini didasari besarnya pengaruh media massa pada perubahan kehidupan masyarakat. Dengan kekuatan penyebarannya yang begitu luas, media massa dianggap tidak hanya dianggap mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik dalam tingkat lokal, maupun gobal, akan tetapi media massa juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam peningkatan surplus secara ekonomi.
            Untuk dapat memahami konsep ekonomi politik media secara keseluruhan, Vincent Mosco menawarkan 3 konsep dasar yang harus dipahami, yaitu       :
A.    Komodifikasi
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Dalam hal ini, produk media yang berupa informasi dan hiburan, menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis. Awak media dilibatkan untuk memproduksi dan medistribusikan ‘barang dagangan’ tersebut kepada konsumen yang beragam. Konsumen yang dimaksud dapat berupa khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio, dan bahkan negara sekalipun yang memiliki kepentingan dengannya. Nilai tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana produk media dapat memenuhi kebutuhan individual maupun sosial.
Ada beberapa bentuk komodifikasi menurut Mosco, yaitu; komodifikasi isi atau konten, komodifikasi audiens atau khalayak dan komodifikasi pekerja.
a.       Komodifikasi Isi/Konten
Proses komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang penuh makna sehingga menjadi pesan yang marketable. Akibatnya, akan terjadi keragaman dari isi media untuk dapat  menerima perhatian khalayak.  Contoh dari komodifikasi ini adalah seperti yang ada padaprogram X-Factor Indonesia yang ditayangkah oleh RCTI setiap hari Jumat malam. Pada program ini komodifikasi isi/kontent dapat diwujudkan dalam bentuk kualitas vocal dari masing-masing peserta, penampilan peserta, profil peserta serta latar belakang peserta program tersebut.
b.      Komodifikasi Audiens/Khalayak
Audiens merupakan komoditas yang penting untuk  media massa dalam mendapatkan iklan dan pemasukan. Media dapat menciptakan khalayaknya sendiri dengan program-program menariknya, sehingga kemudian para pengiklan akan tertarik untuk beriklan di media massa tersebut.
Media biasanya menjual audiens dalam bentuk rating atau share kepada advertiser untuk dapat menggunakan airtime mereka. Cara yang ditempuh adalah dengan membuat program yang dapat menembus rating yang lebih tinggi dari program lain.
Selain komodifikasi dalam bentuk rating, saat ini komodifikasi audiens juga sudah mulai berkembang. Caranya, dengan secara langsung melibatkan audiens dalam program-program yang dibuat media. Contoh yang sering terjadi adalah dengan melibatkan audiens dalam pengambilan suara (voting) dalam sebuah ajang pencarian bakat, hal ini dilakukan agar audiens merasa keterlibatannya penting dalam keberlangsungan sebuah program media massa. Contoh Program: Indonesian Idol di RCTI, D’Academy di Indosiar dan program-program lain yang melibatkan polling SMS dari pemirsa untuk pengambilan suara bagi pesertanya.
c.       Komodifikasi Pekerja/Labour
Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Bukan hanya produksi, namun juga distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa.
Komodifikasi dalam aspek ini pun sekarang juga telah berkembang seiring denga perkembangan program-program di media massa. Dewasa ini pekerja media kerap dilibatkan secara langsung dalam sebuah program media. Mereka di tempatkan tidak hanya dibelakang layar, namun juga didepan layar, sehingga dapat menjadi konsumsi audiens. Contoh program: YKS (Yuk Keep Smile) Trans TV. Dalam program ini, seluruh crew dilibatkan baik dalam proses dibelakang layar maupun didepan layar kaca. Sehingga ketika menyaksikan acara ini tidak jarang dapat disaksikan crew berseragam Trans TV yang berlalu lalang (misalnya dalam segmen joget, pencarian jodoh, hipnotis, dll)

B.     Spasialisasi
Spasialisasi berkaitan dengan bagaimana media mampu menyajikan produknya didepan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan produk media kepada khalayaknya.
Spasialisasi juga dimaknai sebagai perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan seberapa besar bentuk usaha media tersebut. Ukurannya bisa berbentuk horizontal maupun vertikal. Dalam bentuk horizontal, perpanjangan ini biasanya menjelma dalam bentuk-bentuk konglomerasi, yang pada akhirnya memunculkan tindakan monopoli. Beberapa kasus yang sering terjadi dalam industri media adalah, ketika suatu perusahaan media membeli bagian lain dari suatu perusahaan lain. Spasialisasi sering dikaitkan dengan bagaimana media melakukan ‘pembesaran’ lingkup medianya demi menjangkau khalayak
Contoh konkret dari spasialisasi horizontal ini adalah katika  MNC Group yang menaungi beberapa stasiun televisi seperti RCTI dan Global TV, kemudian membeli TPI yang kemudian diubah namanya menjadi MNC TV.
Sementara spasialisasi vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaan yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Spasialisasi dalam bentuk vertikal yang terjadi di Indonesia misalnya dari kepemilikan Bakrie & Brothers Group yang selain memiliki bisnis media ( TVOne, ANTV, VivaNews) juga merentangkan sayapnya di bidang telekomunikasi (PT. Bakrie Telecom Tbk, PT. Bakrie Connectivity, PT. Bakrie Communications Corporation, PT. Stone Path Indonesia atau biasa disebut Path), agribisnis (PT. Bakrie Sumatra Plantations Tbk) , minyak dan gas (PT. Bumi Resources Tbk & PT. Energi Mega Persada Tbk) , properti (PT. Bakrieland Development Tbk) , dan masih banyak lagi.



C.    Strukturasi
Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diantara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu dengan yang lainnya. Hstrukturasi juga berkaitan dengan bagaimana cara media membangun hegemoni dan menegakkan hegemoni atau pemahaman yang mendominasi masyarakat. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens.
Contoh strukturasi di media massa Indonesia dapat dengan mudah ditemukan pada program D’Academy 2 yang ditayangkan di Indosiar. Jargon yang sering diucapkan oleh salah satu dari 5 juri di program tersebut, kini mulai menjadi trend kosa kata baru yang sering diucapkan oleh masyarakat. Jargon tersebut adalah “apalah-apalah” milik Iis Dahlia.
Sebelumnya strukturasi semacam ini juga pernah terjadi dalam acara Indonesia Mencari Bakat (IMB) 3, yang pada saat itu mempopulerkan jagon “Jos gandos “ milik juri Soimah dan “Cetar Membahana” milik juri Syahrini.











DAFTAR PUSTAKA






MEDIA SOSIAL: SARANA LAHIRNYA MASYARAKAT DIGITAL




Lahirnya Media Sosial sebagai Media Komunikasi
Di era global saat ini, siapa yang tak kenal internet?, internet merupakan salah satu perwujudan dari perkembangan teknologi informasi sekaligus komunikasi yang sangat populer di kalangan masyarakat modern. Internet menyediakan akses bebas dan tak terbatas terhadap informasi.  Populernya internet sebagai media komunikasi memunculkan banyaknya founder-founder di bidang internet untuk membuat media komunikasi dan informasi baru yang dapat diakses dengan mudah, dengan memanfaatkan koneksi internet.
Seperti halnya dengan perkembangan teknologi di bidang lain, terdapat pula beberapa fase perkembangan media sosial.  Perkembangan media sosial di awali dengan penemuan sistem papan buletin oleh duo Ward Christensen dan Randy pada 1978.  Sistem ini memungkinkan penggunanya untuk saling megirim dan menerima informasi (download dan upload), serta mengirim surat elekronik (e-mail) dengan menggunakan koneksi yang tersambung dengan modem saluran telepon.
Selanjutnya pada 1995, lahir layanan situs webhosting pertama bernama GeoCities. Situs ini menyediakan layanan penyimpanan data-data website, sehingga dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Situs ini menjadi awal munculnya website-website lain.
Pada 1997 muncul layanan media sosial sixdegree.com. Sedangkan media sosial blogger.com lahir pada 1999. Blogger menyediakan layanan bagi para penggunanya untuk membuat dan mengelola halaman situsnya sendiri secara gratis. Pengguna blogger dapat dengan mudah dan bebas menggunakan halamannya sendiri.
Pada 2002, muncul media sosial friendster. Media sosial ini menjadi tren pada awal kemunculannya. Banyak pegguna internet berlomba-lomba untuk membuat akun friendster­nya untuk mengikuti perkembangan media sosial pada masa itu. Media ini sekaligus menjadi tonggak lahirnya media-media sosial modern lain. Menyusul kehadiran friendster, pada 2003 lahir LinkedIn. Meski tak sepopuler keberadaan friendster, pengguna media sosial ini pun cukup banyak. Hal ini dikarenakan telah berkembangnya fungsi media sosial dalam LinkedIn yang memungkinkan penggunanya untuk bermedia sosial sekaligus mendapatkan akses informasi lowongan pekerjaan.
MySpace muncul beriringan dengan LinkedIn pada 2003. Situs ini dianggap sebagai situs yang paling bersahabat dengan pengguna internet karena sistemnya yang mudah dan friendly.
Seorang programer asal Inggris bernama Mark Elliot Zuckerberg, memperkenalkan penemuan fenomenalnya kepada publik pada 2004. Jejaring sosial yang  diberi nama facebook tersebut, kini merupakan media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di seluruh dunia. Kemunculan facebook dapat dikatakan menyempurnakan media sosial sebelumnya karena memasukkan berbagai fungsi media sebelumnya, sehingga dapat dikatakan media ini sebagai media multi-fungsi.
Seperti ingin mengulang kepopuleran facebook, pada 2006 media sosial twitter hadir dan menawarkan fitur yang hampir serupa dengan facebook. Namun bagi sebagian orang, twitter dianggap kurang unggul dalam memposting karakter dalam jumlah besar, karena hanya dibatasi 140 karakter saja.
Dan selanjutnya, perkembangan media sosial di tahun-tahun berikutnya terjadi begitu cepat. Hal ini ditandai dengan kemunculan media-media sosial terbaru, seperti instagram dan path yang sama-sama menjadi media sosial yang paling eksis hingga saat ini.

Media Sosial sebagai Sarana Lahirnya Masyarakat Digital
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemunculan media sosial sebagai media komunikasi modern, sangat mempermudah penyampaian dan penerimaan informasi bagi penggunannya. Hal ini ditunjukkan dengan cepat dan mudahnya proses pertukaran informasi yang terjadi. Media mengemas teknologi komunikasi terdahulu menjadi lebih praktis, simple dan modern. Misalnya, dahulu masyarakat menggunakan surat sebagai sarana tukar informasi. Namun kini, kehadiran surat tergeser dengan munculnya e-mail (electronic mail), yang merupakan bentuk modern dari surat itu sendiri.
Selain dimudahkan dalam aspek pertukaran informasi, kehadiran  media sosial juga menghadirkan efek lain dalam kehidupan masyarakat modern. Wujud dari salah satu efek tersebut adalah, lahirnya ‘masyarakat digital’. Hal ini terjadi ketiaka, masyarakat mulai menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berinteraksi melalui media sosial. Kegiatan-kegiatan yang pada mulanya dilakukan di dunia realitas, kini dengan hadirnya media sosial dapat dengan mudah dan cepat dapat dilakukan. Contohnya: dahulu kegiatan belanja (shopping) hanya dapat dilakukan di toko, warung atau pusat-pusat perbelanjaan, namun kini kegiatan tersebut dikemas secara lebih praktis, mudah dan cepat dengan munculnya ‘lapak-lapak online’ atau online shop, yang entah dimulai oleh siapa, kini sangat riuh di media sosial. Mulai dari pakaian, kosmetik, alat-alat rumah tangga, bahkan makanan pun kini dapat dengan mudah dipesan ke si penjual dengan menggunakan sistem order-pay-ship (pesan-bayar-antar).
Di salah satu media sosial ‘Instagram’, kehadiran lapak-lapak online ini dapat dibilang sangat kentara dan signifikan. Dapat dikatakan bahwa Instagram merupakan media yang idela bagi lapak-lapak online ini. Hal ini karena Instagram menyediakan fitur post dengan foto dan caption sehingga para pengelola lapak online dapat menggunakan galeri Instagram mereka untuk ‘memajang’ dan ‘menggelar’ dagangannya dengan bebas. Online shop- online shop di Instagram biasanya menyertakan harga dan lokasi asal pengiriman untuk memudahkan pembeli melakukan tracking terhadap pengiriman barang mereka. Hal ini akan sangat membantu untuk memantau ketepatan pengiriman jasa ekspedisi yang digunakan.
Adanya paket lengkap dari media sosial tersebut, seperti semakin mengamini masyarakat untuk hidup makin bergantung padanya. Dampak positif dari hal ini adalah, kemudahan masyarakat untuk mendapatkan dan meneruskan inofrmasi, sehingga dapat mengikuti perkembangan baik secara nasional bahkan internasional. Dengan sekali akses media sosial, semua kegiatan dapat dengan mudah dilakukan. Dengan sekali klik, apapun bisa terselesaikan. Masyarakat kita menjadi lebih aktif dalam menggunakan teknologi untuk hal-hal yang ‘menurut mereka’ lebih berguna. Hal ini secara otomatis meningkatkan kesadaran masyarakat untuk semakin ‘melek media’, khususnya untuk generasi-generasi mendatang.
Dampak negatif dari perkembangan media sosial adalah,  kegiatan interaksi secara langsung dengan tatap muka mulai ditinggalkan. Hal ini tentu akan menyebabkan kesenjangan dan ketidakseimbangan proses sosial dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, proses interaksi sangat penting dalam kehidupan manusia. Interaksi sosial-lah yang membentuk lingkungan sosial, jika interaksi kini hanya dilakukan di media sosial, maka tentulah akan terjadi kerenggangan dalam hubungan sosial antar manusia.
‘Generasi Nunduk’, frase itulah yang sering dilontarkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat kita kini. Ketika kebanyakan individu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menunduk, sibuk dengan aktifitas gadgetnya. Dimanapun dan kapanpun, ‘nunduk’ menjadi kegiatan yang paling mengasyikkan dibanding kegiatan lain, termasuk berinteraksi dengan orang yang bahkan hadir tepat di samping kita. Tua, muda, miskin, kaya, apapun gadget yang digenggamnya, mahal atau murah, kegunaannya sama, untuk ‘nunduk’.
Tidak dapat dipungkiri, semua individu terkena dampak dari munculnya media sosial dalam masyarakat kita, baik dalam hal positif maupun negatif. Maka dari itu, masyarakat pengguna media sosial hendaknya dapat memanfaatkan media sosial dengan seperlunya dan sewajarnya. Jangan menggantungkan semua hal pada media sosial. Memang benar bahwa dengan media sosial kita dapat melakukan banyak hal. Namun, tidak semua hal bisa didapatkan dengan media sosial, misalnya hubungan baik dan interkasi sosial yang intim dengan sesama. Maka dari itu, lakukan hal yang masih bisa dilakukan tanpa menggunakan teknologi, misalnya pergi keluar dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, bersosialisasi dan mempererat hubungan dengn yang lain. Bukan melalui media, tapi bertatap muka secara langsung. Sehingga akan tercipta interaksi sosial yang selaras dengan komunikasi yang dilakukan baik dengan atau tanpa media sosial. Hal ini agar tittle ‘Generasi Nunduk’ sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti akan luntur dari generasi kita.