Sunday, September 20, 2015

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: ANALISIS KONFLIK PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (RI) DAN GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM)




·                Pihak yang Berkonflik
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bentukan Tengku Hasan M.di Tiro.

·                Pemicu Konflik RI dan GAM
Berakhirnya Orde Lama, membawa harapan besar bagi tokoh-tokoh Aceh tentang perkembangan dan kemajuan pada bidang ekonomi, sosial dan politik  yang akan terjadi di wilayah mereka. Namun, kenyataan yang terjadi justru tidak sesuai dengan ekspektasi.  Di Orde Baru sekalipun, masyarakat Aceh masih saja miskin. Kekayaan alam Aceh di ambil oleh pemerintah pusat dan dikembalikan dalam bentuk yang tidak sebanding dengan kontribusinya bagi negara.
Pada 1970, pemerintahan Orde Baru pun makin agresif terhadap ulama-ulama dan lembaga keagamaan di Aceh. Hal ini ditandai dengan dibatalkannya Perda No. 6 Tahun 1968 tentang ketentuan Pokok Pelaksanaan Unsur-Unsur Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh karena munculnya asas tunggal Pancasila.
Dari segi ekonomi, berdirinya industri-industri di Aceh Utara seperti pabrik LNG, Mobil Oil, PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Aceh Asean Fertilizer, PT. Kraft Aceh, serta sejumlah industri hilir yang berorientasi ekspor, tidak diimbangi dengan perubahan yang signifikan bagi keadaan ekonomi Aceh. Sebagian besar hasil dari Industri tersebut masuk ke pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil yang masuk ke pundi ekonomi Aceh.
Selain pembagian hasil yang tidak seimbang, pendirian industri-industri tersebut juga berdampak pada terpinggirnya tenaga kerja lokal, karena industri tersebut lebih memilih untuk mendatangkan tenaga ahli dari luar Aceh. Hal ini tentu saja selain menimbulkan gap ekonomi yang makin besar, juga menimbulkan kecemburuan social di tengah masyarakat.
Ketidakpuasan akan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di Aceh tersebut lah yang menjadi acuan bagi Tengku Hasan M.di Tiro (disingkat Hasan Tiro) bersama beberapa tokoh lain, untuk memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Hasan Tiro menganggap, ada dua hal utama yang menjadi alasannya untuk mewujudkan berdirinya negara Aceh merdeka, yakni legitimasi atau keabsahan sejarah kerajaan Aceh, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang sangat timpang dan memilukan dari masyarakat Aceh. Ia menganggap, dengan potensi kekayaan gas alamnya, Aceh bisa setara dengan negara-negara maju seperti Singapura dan Brunei Darussalam, bila memisahka diri dengan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto, sama sekali tidak mau mengakui eksistensi dari Gerakan Aceh Merdeka, dan menyebutnya sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), GPL (Gerakan Pengacau Liar), GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan), GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro). Bahkan gerakan melepas diri dari NKRI ini mendapat respon tegas dari rezim Soeharto, dengan menumpas gerakan inimelalui operasi militer yang akhirnya menjadi kasus pelanggaran HAM berat.

·                Kronologis Konflik RI dan GAM
Sejak 1977, penumpasan GAM genjar dilakukan, puluhan anggota pimpinan wilayah Gerakan Aceh Merdeka tertangkap, bahkan terbunuh. Karena adanya operasi penumpasan ini, pimpinan GAM, Hasan Tiro, melarikan diri ke luar negeri pada 1983. Oleh karena itu GAM sempat tidak aktif selama beberapa tahun.
Pada 1989, GAM muncul kembali dengan pola perjuangan gerilyanya. Pola ini pun terbagi menjadi dua, yakni gerilya desa dan gerilya kota. Gerilya desa untuk mempersuasi masyarakat desa, sedagkan gerilya kota membangun opini yang bernada provokatif dan agitatif di luar dan di dalam negeri untuk menjelaskan bahwa perjuangan yang mereka cita-citakan adalah sah dimata hukum.
Dalam perjuangan gerilyanya tersebut, GAM melakukan berbagai tindakan pembentukan opini, agar warga bersedia ikut bergabung dan berjuang bersama mereka. Namun disisi lain, mereka tidak segan melakukan teror bahkan penindasan dan pembunuhan pada warga lokal, untuk mengancam dan mengintimidasi pemerintah. Tingginya tingkat perlawanan yang diberikan, menyebabkan diberlakukannya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Menurut catatan dokumentasi, semasa berlakunya DOM di Aceh selama 10 tahun (1989-1998), Amnesty Inernational memperkirakan 2.000 orang tewas hanya dalam waktu 3 tahun (1989-1992).
Seiring dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru, untuk mendinginkan gejolak di Aceh pada Jumat, 7 Agustus 1998 Menhankam/ Panglima TNI Jenderal Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh.

·                Solusi Konflik RI dan GAM
Proses dialog antara Pemerintah Indonesia dan GAM baru terlaksana pada saat Presiden Abdurrahman Wahid membuka peluang tersebut dengan melibatkan Henry Dunant Centre (HDC) yang merupakan organisasi international non-government (NGO) sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Aceh.keterlibatan HDC ini tentu saja telah disepakati oleh kedua belah pihak. HDC menawarkan jasa kepada pihak yang berkonflik untuk menerima keterlibatannya dalam menyelesaikan konflik. Baik pemerintah Indonesia atau GAM sama-sama menyadari bahwa konflik Aceh memerlukan peran pihak ketiga untuk dapat membawa kedua belah pihak ke meja perundingan. Perundingan-perundingan yang telah di fasilitasi oleh HDC antara lain :
1.    12 Mei 2000, di Jenewa, Swiss, menghasilkan Nota Kesepahaman untuk Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh).
2.    6-9 Januari 2001, menghasilkan Kesepahaman Sementara (Provisional Understanding). Namun setelah itu, kekerasan masih saja terjadi.
3.    9-10 Mei 2002 di Swiss, menghasilkan Pernyataan Bersama (Joint Statement) dimana GAM bersedia menerima UU NAD sebagai langkah awal dalam penyelesaian konflik.
4.    9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss, menindak lanjuti Pernyataan Bersama tersebut, Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement-COHA) berhasil ditandatangani.
Namun setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian tersebut, masih saja terjadi kekerasan antara kedua pihak yang bersengketa. Pemerintah RI dan GAM sama-sama masih saling memegang pendiriannya masing-masing.
Karena semua perundingan yang difasilitasi oleh HDC gagal,  maka proses perundingan yang berikutnya difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional, yang bergerak dalam bidang resolusi konflik. Proses mediasi yang dilanjutkan oleh CMI ini dimulai dengan mengadakan lima tahap perundingan informal diantara Pemerintah Indonesia dan GAM, sehingga pada perundingan formal dapat dicapai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Ada tiga poin utama dari MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari’at Islam dan Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alamsebesar 70%. Sementara pihak GAM sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan merdeka, dan bersedia membangun Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sumber           :












0 responses:

Post a Comment