·
Pihak
yang Berkonflik
Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bentukan Tengku Hasan M.di Tiro.
·
Pemicu
Konflik RI dan GAM
Berakhirnya Orde Lama, membawa harapan
besar bagi tokoh-tokoh Aceh tentang perkembangan dan kemajuan pada bidang
ekonomi, sosial dan politik yang akan
terjadi di wilayah mereka. Namun, kenyataan yang terjadi justru tidak sesuai
dengan ekspektasi. Di Orde Baru sekalipun,
masyarakat Aceh masih saja miskin. Kekayaan alam Aceh di ambil oleh pemerintah
pusat dan dikembalikan dalam bentuk yang tidak sebanding dengan kontribusinya
bagi negara.
Pada 1970, pemerintahan Orde Baru pun
makin agresif terhadap ulama-ulama dan lembaga keagamaan di Aceh. Hal ini
ditandai dengan dibatalkannya Perda No. 6 Tahun 1968 tentang ketentuan Pokok
Pelaksanaan Unsur-Unsur Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh karena munculnya
asas tunggal Pancasila.
Dari segi ekonomi, berdirinya
industri-industri di Aceh Utara seperti pabrik LNG, Mobil Oil, PT. Pupuk
Iskandar Muda, PT. Aceh Asean Fertilizer, PT. Kraft Aceh, serta sejumlah industri
hilir yang berorientasi ekspor, tidak diimbangi dengan perubahan yang
signifikan bagi keadaan ekonomi Aceh. Sebagian besar hasil dari Industri
tersebut masuk ke pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil yang masuk ke pundi
ekonomi Aceh.
Selain pembagian hasil yang tidak
seimbang, pendirian industri-industri tersebut juga berdampak pada
terpinggirnya tenaga kerja lokal, karena industri tersebut lebih memilih untuk mendatangkan
tenaga ahli dari luar Aceh. Hal ini tentu saja selain menimbulkan gap ekonomi
yang makin besar, juga menimbulkan kecemburuan social di tengah masyarakat.
Ketidakpuasan akan ketimpangan-ketimpangan
yang terjadi di Aceh tersebut lah yang menjadi acuan bagi Tengku Hasan M.di
Tiro (disingkat Hasan Tiro) bersama beberapa tokoh lain, untuk memproklamirkan
berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Hasan Tiro menganggap, ada dua hal utama
yang menjadi alasannya untuk mewujudkan berdirinya negara Aceh merdeka, yakni
legitimasi atau keabsahan sejarah kerajaan Aceh, dan kondisi kehidupan sosial
ekonomi yang sangat timpang dan memilukan dari masyarakat Aceh. Ia menganggap,
dengan potensi kekayaan gas alamnya, Aceh bisa setara dengan negara-negara maju
seperti Singapura dan Brunei Darussalam, bila memisahka diri dengan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, sama sekali tidak mau mengakui eksistensi dari Gerakan Aceh
Merdeka, dan menyebutnya sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), GPL (Gerakan
Pengacau Liar), GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan), GPLHT (Gerakan
Pengacau Liar Hasan Tiro). Bahkan gerakan melepas diri dari NKRI ini mendapat
respon tegas dari rezim Soeharto, dengan menumpas gerakan inimelalui operasi
militer yang akhirnya menjadi kasus pelanggaran HAM berat.
·
Kronologis
Konflik RI dan GAM
Sejak 1977, penumpasan GAM genjar
dilakukan, puluhan anggota pimpinan wilayah Gerakan Aceh Merdeka tertangkap,
bahkan terbunuh. Karena adanya operasi penumpasan ini, pimpinan GAM, Hasan
Tiro, melarikan diri ke luar negeri pada 1983. Oleh karena itu GAM sempat tidak
aktif selama beberapa tahun.
Pada 1989, GAM muncul kembali dengan pola
perjuangan gerilyanya. Pola ini pun terbagi menjadi dua, yakni gerilya desa dan
gerilya kota. Gerilya desa untuk mempersuasi masyarakat desa, sedagkan gerilya
kota membangun opini yang bernada provokatif dan agitatif di luar dan di dalam
negeri untuk menjelaskan bahwa perjuangan yang mereka cita-citakan adalah sah
dimata hukum.
Dalam perjuangan gerilyanya tersebut, GAM melakukan
berbagai tindakan pembentukan opini, agar warga bersedia ikut bergabung dan
berjuang bersama mereka. Namun disisi lain, mereka tidak segan melakukan teror
bahkan penindasan dan pembunuhan pada warga lokal, untuk mengancam dan
mengintimidasi pemerintah. Tingginya tingkat perlawanan yang diberikan,
menyebabkan diberlakukannya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
Menurut catatan dokumentasi, semasa berlakunya DOM di Aceh selama 10 tahun
(1989-1998), Amnesty Inernational
memperkirakan 2.000 orang tewas hanya dalam waktu 3 tahun (1989-1992).
Seiring dengan runtuhnya pemerintahan Orde
Baru, untuk mendinginkan gejolak di Aceh pada Jumat, 7 Agustus 1998 Menhankam/
Panglima TNI Jenderal Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh.
·
Solusi
Konflik RI dan GAM
Proses dialog antara Pemerintah Indonesia
dan GAM baru terlaksana pada saat Presiden Abdurrahman Wahid membuka peluang
tersebut dengan melibatkan Henry Dunant
Centre (HDC) yang merupakan organisasi international non-government (NGO) sebagai mediator dalam penyelesaian konflik
Aceh.keterlibatan HDC ini tentu saja telah disepakati oleh kedua belah pihak.
HDC menawarkan jasa kepada pihak yang berkonflik untuk menerima keterlibatannya
dalam menyelesaikan konflik. Baik pemerintah Indonesia atau GAM sama-sama
menyadari bahwa konflik Aceh memerlukan peran pihak ketiga untuk dapat membawa
kedua belah pihak ke meja perundingan. Perundingan-perundingan yang telah di
fasilitasi oleh HDC antara lain :
1. 12
Mei 2000, di Jenewa, Swiss, menghasilkan Nota Kesepahaman untuk Jeda
Kemanusiaan (Joint Understanding on
Humanitarian Pause for Aceh).
2. 6-9
Januari 2001, menghasilkan Kesepahaman Sementara (Provisional Understanding). Namun setelah itu, kekerasan masih saja
terjadi.
3. 9-10
Mei 2002 di Swiss, menghasilkan Pernyataan Bersama (Joint Statement) dimana GAM bersedia menerima UU NAD sebagai
langkah awal dalam penyelesaian konflik.
4. 9
Desember 2002 di Jenewa, Swiss, menindak lanjuti Pernyataan Bersama tersebut,
Kesepakatan Penghentian Permusuhan (The
Cessation of Hostilities Agreement-COHA) berhasil ditandatangani.
Namun setelah ditandatanganinya
perjanjian-perjanjian tersebut, masih saja terjadi kekerasan antara kedua pihak
yang bersengketa. Pemerintah RI dan GAM sama-sama masih saling memegang
pendiriannya masing-masing.
Karena semua perundingan yang difasilitasi
oleh HDC gagal, maka proses perundingan
yang berikutnya difasilitasi oleh Crisis
Management Initiative (CMI) sebuah lembaga swadaya masyarakat
internasional, yang bergerak dalam bidang resolusi konflik. Proses mediasi yang
dilanjutkan oleh CMI ini dimulai dengan mengadakan lima tahap perundingan informal
diantara Pemerintah Indonesia dan GAM, sehingga pada perundingan formal dapat
dicapai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki perdamaian antara pemerintah
Indonesia dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Ada tiga poin utama dari MoU Helsinki
tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari’at Islam dan Lembaga
Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian
hasil minyak bumi dan gas alamsebesar 70%. Sementara pihak GAM
sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan merdeka, dan bersedia membangun
Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber :
http://www.slideshare.net/elygoroleba/analisis-konflik-gam-ri,
diakses 11 September 2015, 18.13 WIB.
http://www.seniberpikir.com/mediasi-konflik-aceh-gerakan-aceh-merdeka-gam/,
diakses 11 September 2015, 18.27 WIB.
https://www.academia.edu/9869380/Penyelesaian_Konflik_Pemerintah_RI-GAM,
diakses 09 September 2015, 14.44 WIB.
http://www.slideshare.net/elygoroleba/analisis-konflik-gam-ri,
diakses 11 September 2015, 17.49 WIB.
https://www.academia.edu/8324357/ACEH_PASCA-Memorandum_of_Understanding_MoU_Helsinki_Meninjau_Kembali_Qanun_Aceh_Dalam_Perspektif_Kebijakan_Publik,
diakses 10 September 2015, 19.23 WIB.
0 responses:
Post a Comment